Manajemen Biaya selintas sebuah istilah yang keren, terbayang kerjaannya mikir belakang meja dan membuat keputusan bagaimana caranya biaya bisa ditekan. Tapi di dunia kerja sepertinya hal tersebut tidak sekeren di dunia mimpi, banyak perusahaan yang menganggap remeh pekerjaan semacam ini, terutama perusahaan menengah bawah.
Memang apa bedanya perusahaan yang menerapkan Sistem Manajemen Biaya dengan yang tidak?
Secara signifikan hampir tidak ada bedanya, karena aktivitasnya sama. Beli jasa/barang, produksi, lalu jual. Namun saya punya beberapa teman yang bekerja di Kantor Konsultan Pajak dan KAP, mereka (perusahaan) yang tidak menerapkan Manajemen Biaya pada akhirnya dapat zonk, termasuk tempat perusahaan saya bekerja. Bahkan ada perusahaan yang menjual barangnya di bawah harga pokoknya, lucu sekali memang, jadinya malah jual rugi.
Berikut adalah fungsi dari Manajemen Biaya :
Manajemen Biaya Untuk Efisiensi
Manajemen biaya dipergunakan untuk efisiensi dalam hal produksi barang. Di mana manajemen biaya ini mengerti alur produksi dan mengamati aktivitas-aktivitas tersebut. Aktivitas dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu aktivitas yang menambah nilai tambah dan tidak mempunyai nilai tambah. Manajemen Biaya seharusnya mengurangi aktivtias yang tidak memiliki nilai tambah.
Salah satu pengurangan atau perampingan aktivitas bisa menggunakan Biaya Kualitas. Biaya kualitas ini dibagi menjadi 4 bagian besar :
1. Biaya Pencegahan : biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mencegah agar perusahaan tidak memproduksi barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi.
2. Biaya Pemeriksaan : biaya yang dikeluarkan untuk mencegah barang yang tidak sesuai spesifikasi setelah diproduksi.
3. Biaya Kegagalan Internal : biaya yang terpaksa dikeluarkan karena tidak sesuai spesifikasi, namun belum sampai ke tangan konsumen akhir.
4. Biaya Kegagalan Eksternal : biaya yang sama dengan Kegagalan Internal namun perbedaannya sudah mencapai konsumen akhir.
Cara memakai biaya kualitas adalah menggolongkan biaya-biaya ini pada macam Biaya Kualitas, lalu melakukan pencatatan. Dari hasil pencatatan tersebut, ditelaah lagi lebih rinci mengapa biaya tersebut begitu besar. Lalu perusahaan mencari cara bagaimana biaya tersebut bisa ditekan, dan melakukan pencatatan ulang apakah strategi tersebut berhasil diterapkan setelah melihat perubahan pencatatan. Biasanya pada awal-awal penerapan BIaya Kualitas, perusahaan memiliki ke empat biaya tersebut. Seiring berjalannya waktu, Biaya Pemeriksaan, Biaya Kegagalan Internal, dan Biaya Kegagalan Eksternal tidak akan terjadi karena hal tersebut merupakan aktivitas yang tidak mempunyai nilai tambah.
Manajemen Biaya Untuk Pelanggan
Ternyata Manajemen Biaya juga bisa diterapkan kepada pelanggan, agar terbayang jelas, mari kita liat contoh kasus.
Perusahaan di tempat saya bekerja terdapat puluhan pelanggan aktif, kebanyakan adalah pabrik. Perilaku dari pelanggan-pelanggan ini tentunya punya keunikan masing-masing. Maksudnya unik di sini adalah keingingan untuk "servis" oleh perusahaan. Contohnya perusahaan A lokasinya hanya berjarak 10 KM, sedangkan B berada di luar pulau. Dari ongkosnya pun sudah pasti B akan lebih mahal. Juga permintaan yang aneh-aneh dalam pengemasan akan menjadi biaya ekstra. Dari hal tersebut tentu perusahaan tidak akan memberikan harga standar. Dalam modul IAI Akuntansi Manajemen Lanjutan 2016, serve customer ini memiliki 4 bagian di mana kuadran tersebut adalah
1. Cheap
Memiliki Cost to serve rendah namun tidak mau membayar mahal. Bisa dibilang harga standar sudah cukup memuaskan pelanggan ini.
2. Passive
Memiliki Cost to serve namun mau membayar lebih mahal. Biasanya pelanggan semacam ini cukup malas mencari pemasok dan kurangnya wawasan.
3. Savvy
Perusahaan mendapatkan marjin yang tinggi, namun cost to serve yang tinggi
4. Aggressive
Merupakan jenis pelanggan yang cost to servenya tinggi, namun memiliki marjin rendah. Pelanggan seperti ini yang nantinya merugikan perusahaan.
Masing-masing pelanggan statusnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi. Sebagai contoh misalnya, perusahaan menjual sebuah produk ke PT X, omset per bulan mencapai 1M dengan profit 20% dari omset. Suatu waktu bagian purchasing menginginkan komisi untuk pribadinya sendiri jika ingin mempertahankan omset tersebut, komisinya adalah 5% dari omset, kebijakan perusahaan pun menyanggupi hal tersebut. Bulan berikutnya PT X pindah gudang ke suatu tempat yang jaraknya lebih jauh, biaya transport ini perusahaan yang menanggung dan mengurangi 2% dari omset. Bersamaan dengan hal itu, PT X juga implementasi sistem ISO terbaru sehingga pengepakan pengiriman barang sehingga perlu improvisasi dalam package. Kira-kira memakan 3% dari omsetnya.
Dari kondisi di atas mari kita lihat perubahan dari tahap demi tahap
1. Ketika omset berjalan normal, perusahaan masih mendapat profit 20% dari omset dan berjalan secara rutin. Di sini PT X masih berada di zona Passive
2. Ketika bagian purchasing PT X meminta komisi, profit menurun menjadi 15%. Bisa dibilang PT X ini masih berada di zona Passive
3. Pada saat pindah pabrik dan upgrade kemasan, profitnya berkurang lagi menjadi 10%, pada posisi ini kuadran bisa berpindah di Savvy
Hal tersebut bisa terus berlanjut sesuai skenario pelanggan masing-masing. Ada juga yang dari kuadran Aggressive tiba-tiba pindah ke kuadran Passive. Sebaiknya manajemen perusahaan lebih memperhatikan biaya-biaya semacam ini untuk mengukur potensi pelanggan.
Manajemen Biaya Untuk Produk
Manajemen Biaya menggunakan Target Costing yang dimaksudkan untuk mengurangi biaya. Tahapan penerapan Target Costing meliputi :
Market Driven Costing
Teknik ini mengambil harga yang sudah ada (harga pesaing), lalu menyesuaikan harga jual tersebut sesuai dengan keunggulan atau kelemahan spesifikasi produk. Setelah harga jual disesuaikan dengan spesifikasi maka langkah selanjutnya adalah menentukan target marjin laba. Contoh misalkan saya mempunyai rumah kos, hanya saja saya kebingungan dalam menentukan harga. Saya bertanya kepada pemilik rumah kos sebelah (pesaing) ternyata harganya Rp 600.000,- dengan spesifikasi toilet di dalam dan tidak punya AC. Rumah kos saya sendiri juga ada toilet dalam namun ditambahkan dengan AC, artinya spesifikasi produk saya lebih tinggi dan bisa menetapkan harga jual lebih tinggi. Selanjutnya hanya perlu menghitung cost dari AC tersebut per bulan dan menetapkan profit margin.
Product Level Target Costing
Cukup berbeda dengan tahap sebelumnya, metode ini lebih menitikberatkan pada pengurangan biaya. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah
1. Reverse Engineering, membongkar produk dan membuat rancangan yang lebih efisien
2. Value Analysis menghasilkan fitur-fitur yang dikehendaki konsumen
3. Process Improvement, metode produk yang lebih efisien
Component Level Target Costing
Menelusuri presentase antar biaya per unit masing-masing komponen. Nantinya akan terlihat mana komponen yang kontribusi biayanya lebih tinggi dengan kontribusi fungsionalnya.
Chained Target Costing
Menggabungkan ketiga metode di atas lalu menekan pemasok dengan harga yang murah, karena percuma saja jika pemasok mematok dengan harga tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar