Lionel Messi adalah salah satu pemain bola top kelas dunia. Beberapa kali pernah menyabet gelar sebagai pemain terbaik kelas dunia walaupun tinggi badannya cukup pendek di antara pemain bola lainnya. Walaupun pun tubuhnya terbilang pendek, prestasinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Mungkin yang ga suka bola pun mengetahui namanya. Tapi pernahkah kita berpikir jika seorang Lionel Messi menjalani pekerjaan lainnya? Mungkin sebagai seorang karyawan keuangan biasa, dokter, atau lainnya? Untuk membentuk prestasi luar biasa tentunya dibutuhkan banyak hal, hal-hal vital yang gw pikirkan disini ada 3 poin yaitu Psikolog, Pendidikan, & Karir.
Psikolog
Untuk mencapai hasil yang maksimal dibutuhkan orang yang tepat dan pekerjaan yang tepat. Gw ibaratkan apa jadinya jika kita menaruh ikan di bak pasir? Tentu ikan tersebut kepanasan dan pada akhirnya mati. Tapi jika kita menaruh dalam air pastinya ikan itu bisa berenang bebas dengan indahnya.
Hal tersebut gw kira sama dengan manusia, misal ada orang yang supel dan senang bersosialisasi, menempati pekerjaan sebagai accounting yang notabene harus banyak diam menganalisis di depan komputer. Alhasil orang tersebut merasa "aneh" harus berbicara dengan komputer dan tiap 5 menit selalu berlalu-lalang mengobrol dengan meja sebelahnya. Jika ia ditempatkan pada posisi marketing banyak produk yang bisa ia jual dan mempunyai prestasi yang bagus.
Dari kedua kasus di atas, bisa gw katakan, untuk melakukan sesuatu hal besar perlu kecocokan untuk mencapai hal tersebut. Tapi di lain sisi ada orang yang mengatakan "Usaha mengalahkan bakat", gw cukup setuju dengan hal itu, tapi kalo dipikir-pikir, konsep ini seperti memaksa lu untuk memeluk kaktus. Semakin dipeluk akan semakin dalam duri yang menancap di kulit dan semakin sakit. Contoh nyata, ada orang yang gw kenal sedang bekerja di perusahaan BUMN. Sudah pasti gajinya segambreng, ditambah lagi berbagai tunjangan dan fasilitas. Tapi sayang sekali orang ini setiap pulang kantor selalu emosi dan marah-marah, dia tidak suka dengan pekerjaannya. Setelah dilakoni dalam jangka waktu lama, beliau mengeluh sakit dan diperiksa ke dokter. Hasil diagnosa dokter "tidak ada penyakit pak, semuanya normal". Heran lah semua dia beserta keluarga. Sakit itu dipertahankan sampai umur pensiun, setelah pensiun mendadak penyakitnya hilang entah ke mana bagaikan ditelan bumi. Padahal tidak ada kontrol dan minum obat, malah sekarang wajahnya fresh terus dan sedang olahraga.
Seperti yang gw katakan, hal semacam ini seperti memeluk kaktus. Jadi mulailah melakukan sesuatu atas dasar psikolog anda.
Pendidikan
Faktor ini salah satu yang cukup penting namun seperti pisau bermata dua. Indonesia sendiri cara berpikirnya masih belum luas, walaupun sudah mulai luntur. Semua orang tua pasti menginginkan anaknya sukses, namun sebagian orang tua caranya ada yang keliru. Terlebih lagi orang tua jaman dahulu di mana pola pikir sistematis :
1. Nilainya harus 8 atau 9 semua
2. Masuk IPA
3. Kuliah jurusan favorit agar "lulusannya mudah bekerja"
4. Jadi PNS berseragam
5. Kapan kawin? Kapan punya anak?
6. Matinya masuk surga
Memang kelihatannya membosankan, sistem yang memuakkan. Jika melihat anak tetangga sukses karena melalui jalan nomor 1, maka anaknya pasti akan dipaksa memilih jalan nomor 1, padahal kemampuan dan medannya tidak cocok dengan anak tersebut.
Contoh nyata lagi, teman gw sewaktu kuliah ada yang bernama K. Dia ini senang nongkrong sana-sini dan suka bermusik, bahkan sampai membentuk band dan sudah cukup sering manggung. Pegang buku rasanya seperti pegang besi panas. Tapi herannya dia ini kok kuliah S1 Akuntansi? Kalo memang senang bermusik sampai kuliahnya ketinggalan, kenapa tidak sekolah musik saja? Paling-paling orang tuanya berpikir "lulusannya gampang kerja", mudah sekali tertebak. Akhirnya setelah 7 tahun kuliah si K berakhir dengan status DO. Orang tua marah-marah karena berpikir si K ini menyia-nyiakan uang kuliah dan waktunya. Kalo lu liat dari kasus di atas, mungkin banyak sependapat kalo orang tua si K yang kurang "mengijinkan" anaknya untuk menghabiskan waktu di dunia musik.
Perlu diingat pendidikan ini bukannya tidak penting lalu ditinggalkan begitu saja, namun perlu dicoba untuk mengetahui apakah kita cocok dengan bidang tersebut. Halnya seperti les musik, "saya mau memainkan alat musik apa ya?". Entah itu vokal, gitar, drum, piano, sexophone, DJ, biola, pasti harus kita coba satu per satu sambil pikir-pikir.
Tidak ada orang yang tidak bisa apa-apa, semua orang pasti punya kemampuan. Jika ada orang yang berkata "ah saya rasa saya tidak punya bakat apa-apa", tentu saja orang itu pasti belum menemukan bakatnya. Gali terus potensi lu dan jangan terlalu banyak membuang waktu, kecuali kondisinya memang mepet.
Karir
Gw mau cerita lagi pengalaman teman. Teman gw ini dulunya anak IPA, lalu kuliah Akuntansi. Bagus nilainya? Bagus ! ! ! Karena apa? Karena hoki. Entah kenapa ini anak selalu hoki, waktu bimbingan skripsi dan sidang, dapatnya dosen yang super baik. IPK tinggi dan lulus tepat waktu. Ketika lulus langsung jadi pengangguran, 2 tahun setelah lulus tetap jadi pengangguran. Tepat di perusahaan gw ada yang resign dan membuka lowongan kerja. Gw kontak dia sup
aya masukin lowongan. Setelah masuk lowongan ternyata tetap tidak lulus dan gw pun bertanya ke bagian HRD, "kenapa dia ga lulus?" ternyata psikotesnya ga cocok. Gw pun berspekulasi, mungkin di perusahaan-perusahaan sebelumnya dia ditolak karena psikotesnya ga cocok. Mukanya jadi muram, seperti menahan rasa frustasi.
Pelajaran dari cerita di atas, menandakan bahwa sukses pendidikan belum tentu sukses di dunia kerja. Kalo begini, bagaimana ceritanya berkarir kalo kerja pun belum dapat. Kalo pun seandainya dia dapat pekerjaan di tempat gw sebagai accounting, gw berani bertaruh kalo dia ga akan sampai 2 tahun.
Kesimpulannya lebih baik lu cari passion lu di mana, cari pendidikannya kalo perlu, kalo feelnya udah dapat, ya tinggal terusin. Entah itu kerjaannya gaming sekalipun lakoni saja dengan senang kalo passionnya memang disitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar